MediaFlazz.Com

Google

Clock

Monday, April 23, 2007

MENGAPA MUSIBAH SELALU MENDERA?

MENGAPA MUSIBAH SELALU MENDERA?

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi

Sesungguhnya kami memuji Allah Tabaraka wa Ta'ala atas apa yang telah Dia
siapkan, berupa kesempatan yang baik ini. Yaitu, kami berkumpul di dalam
kesempatan ini dengan ikhwan kami seagama dan dalam satu manhaj (jalan);
mengikuti Kitabullah, dan Sunnah Rasulullah, serta pemahaman para Salaf yang
shalih. Walaupun kita berada dalam batas geografi yang berbeda, dan tempat
yang saling berjauhan, namun kemuliaan manhaj ini, kesempurnaan dan
kebaikannya, tidaklah memecah-belah antar kita. Maka, jadilah pertemuan ini
dalam bagian sejumlah perjumpaan yang telah mengumpulkan kami bersama
saudara-saudara kami di negara ini, sejak beberapa tahun yang lalu, lewat
ceramah-ceramah dan kajian-kajian ilmiah bersama. Kami bersyukur kepada
Allah Rabbil 'Alamin atas nikmat ini. Betapa berharganya kenikmatan ini.

Rasa terima kasih juga kami haturkan kepada orang-orang yang memiliki jasa
(andil) yang diberkahi dalam mengatur dan menyiapkan pertemuan-pertemuan
ini. Khususnya, saudara-saudara (panitia) atau Ta'mir Masjid Istiqlal yang
telah memberikan kesempatan ini. Dan ini termasuk dalam bingkai saling
menolong yang terpuji secara syar'i. Allah Ta'ala berfirman :

"Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa" [Al- Maidah : 2]

Maka kami ucapkan kepada mereka terima kasih yang banyak. Nabi kita
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

"Artinya : Orang yang tidak bisa berterima kasih kepada manusia, dia tidak
akan bisa bersyukur kepada Allah" [1]

Karena itu, ungkapan syukur kita kepada orang yang berhak menerimanya [2],
merupakan bentuk syukur kepada Allah. Allah Ta'ala berfirman:

"Artinya : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu" [Ibrahim : 7].

Selanjutnya, syukur kita kepada Rabb kita, akan menambah nikmat Rabb kita
kepada kita, dan memperbanyak karunia-Nya kepada kita. Allah Ta'ala
berfirman :

"Artinya : Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah
(datangnya)" [An-Nahl : 53]

Dan sebagaimana firman-Nya:
"Artinya : Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak
dapat menentukan jumlahnya" [An-Nahl :18]

Jauhnya jarak kita dari sikap syukur kepada Rabb, menjadi ukuran sejauh mana
keburukan, celaka dan kesesatan serta perbuatan jelek yang melanda umat,
sehingga Allah menimpakan adzab-adzab- Nya. Sebuah siksaan yang hampir-hampir
tidak akan hilang, kecuali dengan kembali sepenuhnya kepada agama Allah,
mensyukuri nikmat-Nya kembali, dan memperbaharui kepada keteguhan di atas
perintah Allah Azza wa Jalla.

Karena, syukur nikmat merupakan sebab turunnya rahmat Allah, dan jalan
menuju keridhaan-Nya. Sebaliknya, mengingkari nikmat menjadi faktor pencetus
datangnya siksa dan merupakan jalan menuju kemurkaan-Nya. Selanjutnya,
siksaan dan kemurkaan-Nya ini pasti akan menyebabkan umat menjadi lemah,
terbelakang, dan terpuruk.

Orang yang melihat sembari merenung, dan orang yang memperhatikan sambil
berpikir, akan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa kondisi umat
ini, umat Islam, pada zaman ini, berada dalam kehinaan dan tidak lurus. Umat
Islam berada atau hampir berada di bagian belakang kafilah, setelah
dahulunya mereka menjadi pengendali dan terdepan [3]. Padahal, umat Islam
adalah umat yang memiliki harta kekayaan, sumber daya manusia,
fasilitas-fasilitas , kuantitas yang banyak, dan potensi-potensi.

Akan tetapi, kemunduran masih terus terjadi, menjadi umat yang paling
rendah, terlemah dan terburuk. Mereka dikuasai (musuh), seolah-olah pedang
berada di atas leher (mereka). Apakah sebabnya? Apakah penyakitnya? Dan
apakah obat penyembuhnya?

Tidak mungkin yang menjadi penyakitnya adalah karena sedikitnya harta, atau
kekurangan sumber daya manusia, maupun sedikitnya sumber penghasilan.
Karena, semua ini melimpah. Jadi, apakah sebenarnya penyakit umat ini?
Adakah jalan untuk mengetahui obatnya, hingga bisa dimanfaatkan, dan
digunakan, selanjutnya kita pun bisa keluar dari keadaan-keadaan yang berat
dan susah ini, keadaan yang buruk, yang sedang menyelimuti umat ini dan
hampir-hampir tidak bisa lepas darinya, kecuali dengan curahan taufik Allah
Azza wa Jalla bagi umat ini.

Wahai saudara-saudara seagama,
Kenyataannya memang pahit. Sesungguhnya, ada beberapa sebab dan
bermacam-macam penyakit, hal itulah yang menjerumuskan umat ke dalam
musibah-musibah, bencana-bencana dan ujian-ujian ini. Umat tidak akan dapat
keluar dan melepaskan diri dari semua musibah ini, kecuali dengan taufik
Allah Azza wa Jalla , dengan tambahan karunia dan kenikmatan dari-Nya.

Permasalahan besar seperti ini tidak mungkin diselesaikan secara parsial,
hanya melalui seminar-seminar, ceramah, kajian, dengan satu atau beberapa
kalimat. Semua ini kami sampaikan, untuk tujuan saling menasihati dalam
kebenaran dan kesabaran, dalam rangka mengajak untuk berpegang teguh dengan
tali Allah, dalam upaya menjalin ta'awun (saling menolong) di atas kebajikan
dan takwa. Maka, kami ingin mengatakan sebagai peringatan, sesungguhnya
sebab-sebab yang telah menjerumuskan umat ini ke dalam belitan bencana dan
ujian ini banyak, bahkan sangat beragam. Akan tetapi, secara global bermuara
pada dua bahaya besar yang telah menimpa agama umat ini. Padahal, agama
merupakan sebab kelestarian umat ini, petunjuk bagi umat dalam menangani
urusan mereka. Bila penyebab ini tiada, maka pengaruhnya pun sirna.

Saya hanya ingin menyebutkan dua penyakit saja, yang pertama adalah penyakit
kebodohan, tidak mengerti din (agama); dan tidak mengetahui syari'at Rabbul
'Alamin. Saya akan menyebutkan sebagian dalil-dalil tentang hal ini, insya
Allah.

Dalam Shahihain (dua kitab Shahih), Shahih Imam Bukhari dan Shahih Imam
Muslim, dari sahabat yang agung, 'Abdullah bin 'Amr bin al 'Ash, dia
mengatakan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْتَزِعُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَقْبِضُهُ
بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَالَمْ يَبْقَ عَالِمٌ اتَّخَذَ النَّاسُ
رُءُوسًا جُهَّالًا فَيَسْتَفْتُوْهُمْ فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا
وَأَضَلُّوا

"Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu (dari manusia) secara
langsung, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mematikan ulama. Sehingga ketika
tidak tersisa seorang 'alimpun, orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin
yang bodoh, lalu orang-orang bertanya kepada mereka, lalu mereka berfatwa
tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan" [4]

Mereka (para pemimpin yang bodoh itu) menjadi orang-orang yang sesat atas
ulah mereka ini. Tidak hanya sampai di sini saja, bahkan mereka juga menjadi
orang-orang menyesatkan. Jadi, petunjuk hadits ini begitu jelas, maknanya
sangat gamblang, bahwa kedangkalan ilmu (agama) dan berkurangnya jumlah
ulama (yang baik) termasuk penyakit terbesar dan penyakit terparah yang
menimpa umat di halaman rumahnya sendiri, dan menimpa penduduknya, terutama
cengkeraman musuh (atas diri kita).

Wahai saudara-saudaraku.
Sungguh, mengetahui penyakit ini akan membuat kita berhasil mengetahui inti
dari permasalahan ini, sehingga kita akan memahaminya berdasarkan ilmu,
agama, dan realita, untuk mengetahui penyakit dan obatnya; daripada mengkaji
satu masalah yang tidak benar atau mengungkap sesuatu yang tidak sesuai
fakta. Jika demikian, justru penyakit itu akan semakin parah, dan pemberian
obatnya pun keliru. Dampaknya, umat tidak akan merasakan manfaatnya, bahkan
musibah dan ujian akan semakin meningkat.

Ilmu syar'i (agama) yang sarat kebijaksanaan ini bukanlah ibarat hiburan,
dan bukan pula perkara yang hukumnya sekedar mustahab (dianjurkan) saja.
Akan tetapi hukumnya adalah fardhu 'ain (kewajiban individu) atas setiap
muslim, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

"Artinya : Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim".
Dan tidak diragukan lagi, bahwa kata muslim (dalam hadits ini, Red.)
mencakup laki-laki dan wanita. Oleh karena itu, ilmu syar'i merupakan
tonggak umat, memiliki peran serta dan penjaga eksistensinya. Allah Ta'ala
berfirman:

"Artinya : Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri"[Ar- Ra'd :11]

Sungguh, Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum, yang sebelumnya memiliki
kemuliaan, ketahanan, kekuatan, dan memiliki peran, serta keteguhan, menjadi
kaum yang lemah, penuh kekurangan, tercabik-cabik dan terpuruk, sampai
mereka sendiri mau merubah keadaan yang ada pada diri mereka, yang berupa
gejala-gejala buruk dalam menyikapi agama. Yang terburuk adalah kebodohan
(terhadap agama), dan yang paling parah yaitu kedangkalan ilmu, sampai
mereka kembali kepada masa lalunya yang mulia dan reputasinya terdahulu.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengisyaratkan kejadian ini,
mengisyaratkan kepada kenyataan, yang tidak ada seorang pun yang menolaknya.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُؤْتَمَنُ فِيهَا
الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ
وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ فَقَالَ
الصَّحَابَةُ: مَا الرُّوَيْبِضَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ التَّافِهُ يَتَحَدَّثُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

"Artinya : Sesungguhnya menjelang hari Kiamat terdapat tahun-tahun yang
menipu, orang yang berkhianat diberi amanat, orang yang terpercaya dianggap
khianat, orang yang berdusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, dan
ruwaibidhah akan berbicara," para sahabat bertanya,"Apakah ruwaibidhah,
wahai Rasulullah?" Beliau menjawab,"Seorang yang hina dan bodoh berbicara
tentang urusan orang banyak".[5]

Seorang yang tafih/safih (hina, bodoh) ini, tanda dan sifat pertamanya
adalah bodoh, tidak memiliki ilmu dan tidak memiliki pemahaman. Maka,
marilah kita renungkan keadaan tabib (dokter) ini, dia mengobati orang lain,
padahal dia sendiri sakit. Nabi n bersabda tentang tabib yang mengobati
badan :

مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ (قَبْلَ ذَلِكَ) فَهُوَ ضَامِنٌ

Barangsiapa mengobati, sedangkan dia (sebelumnya) tidak dikenal (dengan)
keahlian dalam pengobatan, maka dia menanggung.[ 6].

(Jika ini berkaitan dengan masalah pengobatan jasmani, Red.), maka bagaimana
dengan terapi pengobatan (yang berhubungan dengan masalah-masalah) agama?
Bagaimana mereka ini (berani) mengeluarkan fatwa kepada umat, berupa
fatwa-fatwa yang menenggelamkan umat dalam kelalaian dan menambah
keterpurukannya, serta menghalangi dari sebab kebangkitannya?

Semua ini dilakukan atas nama ilmu, padahal demi Allah, itu merupakan
kebodohan. Semua itu dengan disampaikan atas nama agama, padahal demi Allah,
itu merupakan kelalaian. Semua itu dikatakan atas nama petunjuk, padahal
demi Allah, itu merupakan kesesatan. Adakah setelah kebenaran selain
kesesatan saja?

Dahulu, ketika para ulama membimbing dan memimpin, umat berada di atas
kebaikan, umat berada di depan dan menjadi maju. Namun, ketika para ulama
itu mengalami kemunduran, umat pun terpengaruh. Tatkala Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah memimpin, dan tatkala ilmi berada di puncak pimpinan,
keadaan itu menyebabkan kemajuan duniawi.

Setiap orang mengetahui bahwa jihad Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah tidak hanya melalui penyebaran ilmu saja, dengan membantah ahli
bid'ah dan ahli ahwa' (orang-orang yang melakukan bid'ah dan mengikuti
hawa-nafsu), menyanggah orang-orang yang menyimpang dan orang-orang yang
rusak keyakinannya. Akan tetapi, jihad beliau itu sangat kompleks dan luas.
Beliau berjihad dengan pedang dan tombak, sebagaimana beliau berjihad dengan
pena dan penjelasan. Inilah Syaikhul Islam, yang memimpin tentara,
lasykar-lasykar Islam dan di front depan dalam pertempuran Syaqhab
(شَقْحَبُ) di Damaskus pada abad ke-8. Beliau rahimahullah memerangi
musuh-musuh Allah, yaitu bangsa Tartar dan para pembela mereka yang hendak
menyerang umat Islam di daerahnya sendiri. Beliau menghadang mereka dengan
kuat, dengan sikap yang agung, yang besar, dan indah. Sejarah selalu
menyebutnya dan mempersaksikannya, karena beliau rahimahullah memandang ilmu
dengan setinggi-tingginya. Beliau bernaung di bawah bendera sulthan, dalam
ketaatan kepada Allah, dan dalam perkara yang ma'ruf (baik). Bukan bertolak
dari sekedar semangat yang kosong dan perasaan yang membinasakan,
sebagaimana dilakukan oleh banyak orang yang mengaku ingin berjihad tanpa
ilmu belakangan ini. Mereka ini tidaklah menegakkan ilmu dengan sebenarnya,
tidak mengerti kedudukan ilmu dengan bentuk sebenarnya. Akibatnya, mereka
sesat dan menyesatkan, walaupun dengan menamakan agama, walaupun dengan nama
jihad, walaupun dengan nama syari'at; mereka ibarat jauh panggang dari api.

Sekarang telah datang Tartar yang baru (yakni orang-orang kafir Barat,
Red.). Dewasa ini, mereka menyerang umat di halaman rumahnya sendiri. Mereka
menyerang wawasan umat, sejarahnya, dan kemuliannya, serta menerjang
negara-negara kaum Muslimin. Akan tetapi, umat ini -sangat disayangkan-
belum bisa melahirkan Ibnu Taimiyah yang lain, tidak mampu memunculkan
seorang ulama yang agung, yang disegani lagi cerdas, yang menempatkan hak
kepada pemiliknya, dan mengagungkan kedudukan syari'at. Karenanya, umat
terus-menerus tidak beranjak dari tempatnya, yaitu kelemahan dan
kemundurannya, sampai Allah mengizinkan datangnya (kemuliaan) yang baru
melalui sikap kembali secara kuat menuju manhaj Allah yang Maha Perkasa lagi
Maha Terpuji. Tidak ada jalan ke arah sana kecuali dengan ilmu, kecuali
dengan ilmu, kecuali dengan ilmu. Dan, hal ini tidak akan terwujud,
melainkan dengan taufik Allah Azza wa Jalla . Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:

"Artinya : Jika kamu bertakwa kepada Allah, Dia akan memberikan furqan
(pembeda antara al haq dengan kebatilan) kepadamu" [Al-Anfal : 29]
"Artinya : Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya" [Ath-Thalaq : 4]

Oleh karena itu, ilmu merupakan batu pertama untuk melakukan ishlah
(perbaikan), pada sebuah istana yang besar; yang pertama kali dimulai adalah
dengan batu bata ini, agar ilmu agama ini menjadi asas yang menjadi landasan
kebaikan manusia.

Akan tetapi, ilmu yang sedang kita bicarakan ini, dan selalu kita sampaikan,
bagaimanakah ciri khasnya? Apakah tanda-tandanya? Apakah sebuah ilmu yang
merujuk pikiran dan hawa nafsu belaka, berdasarkan persangkaan dan perkiraan
semata, ataukah ilmu tersebut yang berasaskan al Kitab dan as-Sunnah?

Ilmu yang tegak di atas cahaya, petunjuk terbaik dan perilaku paling
sempurna adalah ilmu yang telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Beliau bersabda:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا
بَعْدِي أَبَدًا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّتِي

"Artinya : Aku telah tinggalkan pada kalian dua perkara. Kalian tidak akan
sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnahku" 8]

Inilah ilmu yang dimaksud. Inilah cahaya-cahaya dan pengaruh-pengaruhny a.
Dengan ilmu, kebodohan akan hilang. Seiring dengan sirnanya kebodohan, maka
siang menjadi nampak, cahayanya bersinar, dan malam pun menghilang bersama
dengan kegelapan dan kesuramannya.

Bukankah waktunya sudah dekat? Benar, demi Allah. Akan tetapi, hal ini
menuntut adanya kebangkitan ilmiyah, jiwa perintis yang kuat, tidak berhenti
dan tidak lemah dari diri kita. Membutuhkan kebangkitan ilmu yang tegak di
atas Kitab Allah dan Sunnah Nabi.

Saudara-saudaraku seagama., demikianlah penyakit pertama, yaitu kebodohan.
Sedangkan obatnya adalah ilmu.

Adapun penyakit kedua yaitu penyakit bid'ah, dan obatnya adalah Sunnah,
penawarnya adalah ittiba` (mengikuti) Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam .
Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman tentang beliau:

"Artinya : Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk"
[An-Nur : 54]

Jadi, umat ini akan bisa meraih hidayah dengan ilmu yang berasaskan Sunnah,
sehingga semua bid'ah bisa dijauhi dengan segala kotorannya, kesesatannya,
dan kegelapannya. Inilah yang akan dibicarakan oleh yang mulia Syaikh Salim
al Hilali pada pembahasan berikutnya.

Semoga shalawat, salam dan berkah dilimpahkan kepada Nabi kita Shallallahu
'alaihi wa sallam dan keluarga beliau dan para sahabat beliau semuanya.
Akhir perkataan kami adalah alhamdulillah Rabbil-'Alamin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007. Disunting dari
muhadharah di Masjid Istiqlal Jakarta, Sabtu, 22 Muharram 1428H/10 Februari
2007M, Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Isma'il Muslim Al-Atsari]
__________
Foote Note
[1]. Hadist ini kami dapati dengan lafazh : "Barangsiapa tidak mensyukuri
manusia, dia tidak mensyukuri Allah". [HR Ahmad, Ibnu Abi Ashim, dan Ibnu
Baththah, dari sahabat An-Nu'man bin Basyir. Dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani di dalam Ash-Shahihah no. 6677]
[2]. Yaitu kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita
[3]. Kafilah berasal dari bahasa Arab "Qafilah", yaitu rombongan banyak
orang yang bergerak pulang dari safar atau memulai safar. Rombongan ini
membawa binatang tunggangannya, barang-barangnya dan perbekalannya.
Maksudnya, bahwa kaum muslimin dahulu menjadi pemimpin bangsa-bangsa, namun
sekarang terbelakang.
[4]. Hadits ini disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul
Hamid Al-Asari –hafizhahullah- secara makna. Adapun sebagian lafazhnya yang
termaktub dalam Shahih Al-Bukhari : " Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut
ilmu dari hamba-hamba secara langsung, tetapi dia mencabut ilmu dengan
meafatkan ulama. Sehingga ketika Allah pun tidak menyisakan seorang alim
pun, lalu mereka itu ditanya, lantas berfatwa tanpa ilmu. Akibatnya, mereka
sesat dan menyesatkan" [HR Bukhari, no. 100]
[5]. ]. Hadits ini disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul
Hamid Al-Asari –hafizhahullah- secara makna. Adapun lafazh hadits yang kami
dapati adalah, salah satunya : " Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang
menipu, orang yang berdusta dibenarkan, orang yang benar di dustakan, orang
yang berkhianat diberi amanat, orang yang amanat dianggap khianat, dan
Ruwaibidhah akan berbicara pada masa itu'. Beliau ditanya : 'Apakah
Ruwaibidhah? ' Beliau menjawab, 'Seorang yang hina lagi bodoh (berbicara
tentang) urusan orang banyak" [HR Ibnu Majah, no. 4036 dari Abu Hurairah.
Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]
[6]. Yakni, menanggung jika ada kebinasaan atau semacamnya. HR Abu Dawud no.
4586, An-Nasai no. 4830, Ibnu Majah no. 3466. Dihasankan oleh Syaikh
Al-Albani.
[7]. Syaqhab adalah nama desa kecil di dekat Damaskus, di perbatasan Hauran.
Jaraknya dengan Damaskus adalah 37km. Dinukil dari Muqif Ibni Taimiyyah
minal Asy'irah, hal.164
[8]. Hadits shahih lighairihi dengan penguatnya. Riwayat Malik 2/899, no.
1661 dengan lafzh : "Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak
akan sesat selama berpegang kepada keduanya : Kitab Allah dan Sunnah
NabiNya. Silahkan lihat At-Ta'zhim wal Minnah di Intisharis Sunnah, hal.
13-14, karya Syaikh Salim Al-Hilali.

(Dikutip dari salah satu milist....)

No comments: